Jumat, 24 Februari 2012

Biodata PribadiKu


DAFTAR RIWAYAT HIDUP


    A.      IDENTITAS DIRI
         Nama                              :  Fatrica Syafri
         Tempat, tanggal lahir     : Bengkulu, 20 Oktober 1985
 Alamat                          : Jl. Depati payung Negara No. 05 Rt.05 Rw. 01 Kelurahan Sukarami, Kec. Slebar Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu
HP                                  : 085267878728
E-mail                             : fatricasyafri@yahoo.co.id
Agama                            : Islam
Anak                              : Pertama (dari empat bersaudara)
Jenis Kelamin                 : Perempuan
Nama Ayah                    : Syafri, S. H.
Nama Ibu                       : Nofiyanti, S. Pd.
Nama Suami                   : Wira Hadi Kusuma, S. Sos. I.
Nama Anak                    : Raufah Nabila Kusuma (1 tahun)
     B.      RIWAYAT PENDIDIKAN

1.      Pendidikan Formal
a.       SDN No. 82  Kota Bengkulu tahun 1997
b.      SLTP Negeri  No. 02 Kota Bengkulu tahun 2000
c.       MA Mu`allimat Yogyakarta tahun 2003
d.      S1 Jurusan Dakwah Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) STAIN Bangkulu 2007.
e.       S2 UIN Sunan Kalijaga Program Studi Pendidikan  Islam, Konsentrasi PGRA (dalam proses pendidikan)
2.      Pedidikan Non-formal
a.       Pelatihan calon dosen di STAIN Bengkulu tahun 2007
b.      Pelatihan kepemimpinan Kader dasar dan menengah di STAIN Bengkulu tahun 2005 dan 2006
c.       Pelatihan Budidaya lebah 2005
d.      Pelaihan Da`iyah di STAIN Bengkulu 2005
    C.      Riwayat Pekerjaan
1.      Guru MTs Pondok Pesantren Sentot Ali Basya Ja alhaq Bengkulu 2007
2.      Dosen Luar Biasa (DLB) STAIN Bengkulu 2007
3.      Penyuluh Agama Honorer  Kandepag  Kota Bengkulu.
    D.      Penghargaan/Prestasi
1.      Juara II Lomba Membaca Berita RRI Bengkulu tahun 2006
2.      Mahasiswa terbaik tingkat Jurusan dakwah tahun 2007
3.      dll.
     E.      Pengalaman Organisasi
1.      Pengurus karya Ilmiah Remaja Asgama Mu`allimat Yogyakarta tahun 2001-2002
2.      Pengurus Ambalan Fatmawati Mu`allimat Yogyakarta tahun 2001-2002
3.      Pengurus LPPTKA DPW BKPRMI Propinsi Bengkulu tahun 2006
4.      Wakil Presiden BEM Jurusan Dakwah STAIN Bengkulu tahun 2005-2006
5.      Ketua IPPNU Kota Bengkulu tahun 2006-2008
6.      Sekretaris BM PAN Propinsi Bengkulu tahun 2006
7.      dan lain-lain.
















Konsep SQ pada PAUD


ABSTRAK

Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan awal agar anak memperoleh kesiapan untuk mengikuti proses pendidikan selanjutnya. Pendidikan awal ini, hendaknya meliputi, atau paling tidak meliputi dimensi intelektual, emosional dan spiritual. Konsep kecerdasan spiritual ini secara ilmiah dipelopori oleh Danah Zohar dan Ian Marshal. Sebagaimana diketahui kecerdasan spiritual adalah kecerdasan tertinggi seseorang, bertujuan agar manusia mencapai kebahagiaan hidup. Persoalannya bagaimana konsep kecerdasan spiritual pada anak usia dini dan relasinya dengan pendidikan Islam.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan menggali dan memahami lebih mendalam tentang konsep kecerdasan spiritual anak usia dini dalam pendidikan Islam, yang meliputi pengertian, tujuan, ciri-ciri, dan langkah-langkah menanamkan pada anak usia dini. Selanjutnya, akan diketengahkan implikasinya bagi anak usia dini dalam pendidikan Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan filosofis. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif analitik, yaitu dengan cara melakukan analisis data yang ada secara terus menerus. Dengan langkah-langkah analisis, (1) reduksi data yang berkaitan dengan konsep kecerdasan spiritual, (2) penyajian data, setelah menyederhanakan data yang masuk dengan cara mengambil intisari data, maka data disajikan sesuai dengan pengelompokannya, dan (3) menarik kesimpulan dan verifikasi, hal ini merupakan hasil dari proses sebelumnya. Kemudian data tersebut dianalisis implikasinya bagi pendidikan anak usia dini dalam Islam.
Konsep kecerdasan spiritual dalam Islam, telah ada jauh sebelum Danah Zohar dan ahli memproklamirkannya. Dalam Islam konsep kecerdasan spiritual adalah hubungan dengan Allah swt, merupakan puncak dan tujuan akhir dari semua kecerdasan. Konsep kecerdasan spiritual para ahli Barat terkesan bersifat rasional,  materialis, sehingga bila dilihat dari kacamata Islam konsep tersebut hanya bagian dari kecerdasan qalbiyyah. Sejalan dengan penemuan ahli Barat bahwa dalam otak manusia terdapat ”titik Tuhan (God Spot)”, karena dalam Islam ketika manusia berada dalam alam ruh manusia telah berjanji kepada Allah, bahwa Allah sebagai Tuhan. Dapat  diambil kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual  itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan ruh,  semangat  dan  jiwa  religius  serta  memiliki  pola  pemikiran  tauhid (integralistik)  serta  berprinsip  hanya  karena  Allah.  Adapun ciri-ciri atau karakteristik kecerdasan spiritual anak yaitu memiliki moral yang tinggi, dapat memaknai aktivitas hidupnya secara luas, kesadaran diri yang tinggi, dan lain-lain.
Langkah-langkah  yang  harus diperhatikan  orang  tua  dalam  pembinaan  kecerdasan  spiritual  pada  anak  antara lain: jadilah  “gembala spiritual” yang baik untuk anak-anak, bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya, ajarkan Alquran bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan,  ceritakan  kisah-kisah  nabi  dan  rasul  serta  kisah  teladan  lainnya, libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional, bawa anak untuk menikmati keindahan alam, ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ajarkanlah anak untuk mencintai Allah.
Adapun implikasi kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam pendidikan Islam, antara lain, dapat membentuk generasi islami yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang mulia dalam semua aktivitasnya, akan melahirkan anak-anak yang bertanggungjawab (bertakwa), melatih anak-anak memiliki keimanan kepada Allah yang kokoh, akan melahirkan anak-anak yang percaya diri dan mengenal dirinya sendiri dan Allah sebagai Tuhannya.

Kata kunci: Kecerdasan spiritual, anak usia dini, dan pendidikan Islam.



Selasa, 07 Februari 2012

Kecerdasan Spirtual PAUD


ABSTRAK

Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan awal agar anak memperoleh kesiapan untuk mengikuti proses pendidikan selanjutnya. Pendidikan awal ini, hendaknya meliputi, atau paling tidak meliputi dimensi intelektual, emosional dan spiritual. Konsep kecerdasan spiritual ini secara ilmiah dipelopori oleh Danah Zohar dan Ian Marshal. Sebagaimana diketahui kecerdasan spiritual adalah kecerdasan tertinggi seseorang, bertujuan agar manusia mencapai kebahagiaan hidup. Persoalannya bagaimana konsep kecerdasan spiritual pada anak usia dini dan relasinya dengan pendidikan Islam.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan menggali dan memahami lebih mendalam tentang konsep kecerdasan spiritual anak usia dini dalam pendidikan Islam, yang meliputi pengertian, tujuan, ciri-ciri, dan langkah-langkah menanamkan pada anak usia dini. Selanjutnya, akan diketengahkan implikasinya bagi anak usia dini dalam pendidikan Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan filosofis. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif analitik, yaitu dengan cara melakukan analisis data yang ada secara terus menerus. Dengan langkah-langkah analisis, (1) reduksi data yang berkaitan dengan konsep kecerdasan spiritual, (2) penyajian data, setelah menyederhanakan data yang masuk dengan cara mengambil intisari data, maka data disajikan sesuai dengan pengelompokannya, dan (3) menarik kesimpulan dan verifikasi, hal ini merupakan hasil dari proses sebelumnya. Kemudian data tersebut dianalisis implikasinya bagi pendidikan anak usia dini dalam Islam.
Konsep kecerdasan spiritual dalam Islam, telah ada jauh sebelum Danah Zohar dan ahli memproklamirkannya. Dalam Islam konsep kecerdasan spiritual adalah hubungan dengan Allah swt, merupakan puncak dan tujuan akhir dari semua kecerdasan. Konsep kecerdasan spiritual para ahli Barat terkesan bersifat rasional,  materialis, sehingga bila dilihat dari kacamata Islam konsep tersebut hanya bagian dari kecerdasan qalbiyyah. Sejalan dengan penemuan ahli Barat bahwa dalam otak manusia terdapat ”titik Tuhan (God Spot)”, karena dalam Islam ketika manusia berada dalam alam ruh manusia telah berjanji kepada Allah, bahwa Allah sebagai Tuhan. Dapat  diambil kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual  itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan ruh,  semangat  dan  jiwa  religius  serta  memiliki  pola  pemikiran  tauhid (integralistik)  serta  berprinsip  hanya  karena  Allah.  Adapun ciri-ciri atau karakteristik kecerdasan spiritual anak yaitu memiliki moral yang tinggi, dapat memaknai aktivitas hidupnya secara luas, kesadaran diri yang tinggi, dan lain-lain.
Langkah-langkah  yang  harus diperhatikan  orang  tua  dalam  pembinaan  kecerdasan  spiritual  pada  anak  antara lain: jadilah  “gembala spiritual” yang baik untuk anak-anak, bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya, ajarkan Alquran bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan,  ceritakan  kisah-kisah  nabi  dan  rasul  serta  kisah  teladan  lainnya, libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional, bawa anak untuk menikmati keindahan alam, ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ajarkanlah anak untuk mencintai Allah.
Adapun implikasi kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam pendidikan Islam, antara lain, dapat membentuk generasi islami yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang mulia dalam semua aktivitasnya, akan melahirkan anak-anak yang bertanggungjawab (bertakwa), melatih anak-anak memiliki keimanan kepada Allah yang kokoh, akan melahirkan anak-anak yang percaya diri dan mengenal dirinya sendiri dan Allah sebagai Tuhannya.

Kata kunci: Kecerdasan spiritual, anak usia dini, dan pendidikan Islam.

makna perubahan pendidikan


Makna Perubahan Pendidikan
(The Meaning of Educational Change)
Oleh: Fatrica Syafri



A.    Deskripsi
Pembahasan chapter 3 dengan judul The Meaning of Educational Change, atau makna perubahan pendidikan. Pada bab ini Fullan memfokuskan pada empat bahasan. Pertama, Permasalahan Umum dari makna perubahan individu di masyarakat. Kedua, makna subjektif dari perubahan diantara individu di bidang pendidikan. Ketiga, makna objektif dari perubahan pendidikan dan keempat, implikasi realitas objektif dan subjektif untuk memahami perubahan kependidikan.
Dalam makna subjektif ditemukan, ‘tekanan’ kelas bagi guru dan siswa, sekitar 200.000 pertemuan per tahunnya. tekanan multidimensionalitas dan simultanitas; adaptasi kondisi selalu berubah atau unpredictability (ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi) (Huberman, 1983 & Crandall et. al., 1982). Dalam makna objektif dinyatakan tiga komponen program atau kebijakan: (a) materi baru atau revisi, (b) pendekatan pembelajaran dan (c) kepercayaan/keyakinan (misal, asumsi dan teori yang melandasi suatu program atau kebijakan). Sedangkan tentang implikasi perubahan pendidikan dikatakan ada enam aspek yang dapat diamati (a) the soundness dari perubahan yang diusulkan, (b) memahami kegagalan perubahan yang direncanakan dengan baik, (c) petunjuk untuk memahami hakekat dan feasibilitas suatu perubahan, (d) realitas status-quo, (e) kedalaman perubahan dan (e) pertanyaan tentang penilaian. Hal ini akan penulis jelaskan lebih lanjut.
1.      Permasalahan Umum dari makna perubahan pendidikan
Pengalaman-pengalaman baru pada awalnya selalu bereaksi dalam konteks susunan realitas yang bisa dianggap “familiar” dimana orang harus mampu menyertakan tujuan pribadi terhadap pengalaman tanpa memperhitungkan betapa bermaknanya hal tersebut terhadap yang lainnya. Marries tidak menganggap “dorongan konservatif” ini tidak sesuai dengan perkembangannya: “Tampaknya dorongan konservatif adalah untuk mengkonsolidasikan kemampuan dan pelengkapnya, dimana jaminan kepemilikan menentukan jaminan untuk menguasai sesuatu yang baru.”
Perubahan bisa terjadi karena dipaksakan atas kita (melalui peristiwa alamiah atau perubahan yang disengaja) ataupun karena kita secara sukarela turut serta dalam atau bahkan memprakarsai perubahan ketika kita mendapati ketidakpuasan, ketidakkonsistenan atau ketidaktoleransian pada keadaan yang sekarang (pembahasan pada chapter II sources of educational change). Di salah satu kasus, makna perubahan akan jarang tampak pada permulaan dan ambivalensinya akan meliputi transisinya. Inovasi apapun “tidak dapat diasimilasikan kecuali apabila tujuannya terbagi” (Marris, h. 121, di buku edisi bahasa Italia).
Toffler (1970, 1980) juga mempopulerkan beberapa aspek dari fenomena terhadap kegelisahan, tekanan dan berlebihannya informasi, sebagai suatu akibat dari perubahan yang cepat dan tidak menentu. Masa depan mungkin tidak terjadi pada kita, atau mungkin perubahan tidak ada dimana-mana seperti yang diklaim oleh Toffler, tetapi tidak boleh ragu bahwa hal tentang perubahan yang sebenarnya benar-benar ada dalam pendidikan dan dimana-mana, dan ketika muncul memperlihatkan pengaruhnya dalam pengertian kejutan di masa depan.
Implikasi gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip yang digambarkan oleh Marris, Toffler dan yang lainnya sangat diperhatikan dalam hubungannya dengan pemahaman kita terhadap perubahan kependidikan dalam dua pengertian – yang satu berhubungan dengan tujuan perubahan, dan yang lain mengenai proses perubahan tersebut.
Pokok dari bagian ini adalah bahwa perubahan yang sesungguhnya, entah itu diinginkan atau tidak, entah itu mengikuti kesengajaan atau dipaksakan, menunjukkan pengalaman kolektif dan pribadi yang serius yang dicirikan dengan ambivalensi dan ketidaktentuan, dan apabila perubahan terjadi dapat menimbulkan adanya pengertian penguasaan, penyelesaian, dan perkembangan professional (sebagai contoh lihat studi kasus Huberman pada 1981). Kegelisahan terhadap ketidaktentuan dan kesenangan terhadap penguasaan merupakan pokok tujuan subjektif dari perubahan kependidikan, serta terhadap kegagalan atau keberhasilannya – kenyataan belum pernah diakui atau dinilai dalam sebagian besar upaya pada pembaharuan.
2.      Makna subjektif dari perubahan pendidikan
realitas subjektif kegiatan harian para guru dijelaskan oleh Jackson (1968), Smith dan Geoffrey (1968), Lortie (1975), House dan Lapan (1978) dan Huberman (1980). Penjelasannya adalah bahwa para guru terbawa pada pola pengajaran ‘budaya teknis’ guru ragu-ragu tentang bagaimana mempengaruhi siswanya, khususnya tentang tujuan non kognitif, dan bahkan para guru ragu apakah yang disampaikan memiliki pengaruhnya. Sedangkan para siswa merupakan gabungan individu-individu  yang dipengaruhi oleh kekuatan yang berbeda dan beragam yang tidak mungkin digeneralisasikan. keputusan pembelajaran seringkali dibuat berdasarkan alasan pragmatis mencoba dan gagal, dengan sedikit kesempatan untuk merefleksikan atau berpikir secara rasional, para guru harus menghadapi kekacauan harian yang konstan, dalam kelas pada waktu menyelesaikan konflik antarpersonal dan disiplin, dan dari luar lingkungan kelas dalam mengumpulkan uang dari perlombaan-perlombaan sekolah, membuat pengumuman, berhadapan dengan kepala sekolah, orang tua, staff kantor pusat, dll. Para guru harus melewati pekerjaan harian yang berat dan membosankan dengan upah mendapatkan sedikit hari-hari yang menyenangkan, menjalankan kurikulum, menyampaikan keseluruhan pelajaran, memiliki pengaruh kepada satu atau dua pribadi siswa.
Penelitian yang lain terhadap upaya perubahan menunjukkan bahwa tidak semua guru mengalami kenyamanan. Baik Gross et.al (1971) dan Charters dan Pellegrin (1973) dalam penelitian mereka terhadap empat kasus dari susunan kepegawaian yang berbeda (yang terkenal hanya dua dari sekian banyak penelitian) menemukan bahwa para guru menerima mandat (perintah) untuk dilaksanakan kepada siswa dalam keadaan merasa kacau, frustasi, gelisah dan berusaha agar tidak tertinggal. Tetapi, para guru harus percaya dengan melaksanakan inovasi karena inovasi adalah acts of Faith, akan berguna dan berhasil walaupun, hasil tidak segera terlihat (House, 1974).
3.      Makna objektif dari perubahan pendidikan
Orang-orang tidak memahami sifat atau percabangan dari sebagian besar perubahan kependidikan. Mereka menjadi terlibat dalam perubahan secara sukarela maupun tidak. Secara subjektif aspek-aspek yang berbeda ini dialami secara menyeluruh, dengan cara yang membingungkan. Seringkali perubahan tidak tersusun atas hal-hal yang multidimensional. Secara objektif, menjadi mungkin untuk mengklarifikasi tujuan sebuah perubahan kependidikan dengan mengidentifikasi dan menggambarkan dimensi-dimensi utamanya secara terpisah. Ketidaktahuan terhadap dimensi-dimensi ini menjelaskan sejumlah fenomena yang menarik dalam bidang perubahan kependidikan: sebagai contoh, mengapa orang menerima suatu inovasi yang mereka tidak pahami, mengapa sebagian aspek dari suatu perubahan diimplementasikan sedangkan yang lainnya tidak; dan mengapa strategi perubahan mengabaikan komponen-komponen inti tertentu. Menurut Schutz, Beeger & Luckmann Konsep realitas objektif  ini rumit.
Kesulitannya adalah bahwa perubahan kependidikan bukan entitas tunggal. Merupakan sebuah multidimensi tingkat tertentu. Terdapat setidaknya tiga komponen atau dimensi yang diungkapkan dalam mengimplementasikan kebijakan atau program baru: (1) kemungkinan digunakannya materi yang diperbaiki atau baru (sumber instruksional langsung seperti teknologi atau materi kurikulum), (2) kemungkinan digunakannya pendekatan pengajaran baru (yaitu aktifitas atau strategi pengajaran baru), dan (3) kemungkinan berubahnya keyakinan (yaitu teori dan asumsi kependidikan yang mendasari program atau kebijakan baru tertentu).
Dalam mengambil perubahan kependidikan yang lain untuk menggambarkan signifikansi perubahan dimensi yang berbeda. Hampir setiap program mengubah bagian atau menyatakan ketiga aspek, entah menunjuknya pada seni, bahasa, penelitian sosial, karir pendidikan, penggunaan mikrokomputer, Program Lanjutan atau Pionir, pendidikan khusus dan sebagainya. Intinya adalah bahwa program perubahan pendidikan memiliki realita objektif yang mungkin lebih atau kurang dapat didefinisikan dalam pengertian apa yang diyakini, praktik pengajaran, dan sumber yang tercakup. Inovasi yang merupakan seperangkat sumber dan materi adalah aspek yang paling terlihat dari perubahan, dan yang termudah adalah memanfaatkannya, tetapi hanya secara literal.
Singkatnya, tujuan mengetahui realita objektif dari perubahan terletak pada pengakuan pada program dan kebijakan baru di “luar sana” dan bahwa mungkin lebih atau kurang spesifik dalam pengertian terhadap apa yang dilibatkan untuk materi perubahannya, praktik pengajaran dan keyakinan. Kegentingan yang sebenarnya terjadi pada hubungan antara kebijakan-kebijakan atau program-program baru dan ribuan realitas subjektif yang tertanam dalam konteks organisasional dan kepribadian orang serta sejarah perorangannya. Bagaimana realitas subjektif ini ditunjukkan atau diabaikan adalah krusial supaya perubahan potensial menjadi bermanfaat pada tingkat keefektifan dan penggunaan individu. Mungkin cukup baik dengan mengulang bahwa perubahan dalam praktik actual sehubungan dengan ketiga dimensi – secara materi, pendekatan pengajaran, keyakinan – apa yang orang-orang pikirkan dan lakukan – menentukan hasil perubahan.
4.      Implikasi realitas objektif dan subjektif
Implikasi objektif dan subjektif dari pengimplementasian perubahan yang sebenarnya, tidak ada cara lain yang bahkan suatu bagian dari perubahan yang sedemikian jelas bisa diimplementasikan. Seluruh program yang baru mungkin tidak sepenuhnya diimplementasikan, dan tidak dapat dikembangkan pada poin yang menjadi berguna. Dan apabila demikian, mungkin didapati bahwa sebagian tidak wajar, gagasan yang tidak ada gunanya pada urutan yang pertama. Nasehat yang baik untuk memelihara kesehatan berpikir ketika perubahan tampak tidak dapat dipahami. Pembicaraan yang aneh atau strategi yang berubah? Terkadang sulit untuk melihat perbedaannya.
Versi yang kedua tentang ketidakotentikan perubahan berhubungan dengan kebijakan atau program baru yang sungguh-sungguh diharapkan, dan secara naïf diadopsi, oleh para penirunya yang tidak menyadari dan mungkin tidak pernah menyadari implikasinya. Fenomena ini diperhitungkan untuk kejelasan yang keliru dalam Goodlad dan Klein’s (1970) yang menemukan bahwa para guru menganggap mereka menggunakan pendekatan yang baru tetapi sebenarnya tidak; juga diperhatikan pada observasi Sarason tentang tendensi, dimana sejumlah besar orang mendukung sebuah inovasi karena tingkat persetujuan tanpa menyadari perubahan spesifik apa yang mungkin terlibat. Dengan mengetahui dimensi objektif dan subjektif perubahan membantu kita untuk memahami peristiwa ini.
Ketiga, dimensi objektif dapat dan telah digunakan untuk menganalisa perubahan yang terjadi dengan tujuan untuk memahami bentuk dan seberapa mudah dan diinginkannya perubahan tersebut (lihat Leithwood, 1981). Sebagai contoh, mungkin kita menguji sebuah perubahan kurikulum tertentu atau arah dan menemukan bahwa (a) tujuannya spesifik dan jelas, tetapi tujuan implementasinya samar-samar, atau (b) kepercayaan dan tujuannya abstrak, samar-samar dan tidak berhubungan dengan dimensi lain (misalnya, strategi pengajaran), atau (c) jumlah perubahan yang tercakup (misalnya jumlah aktivitas perubahan yang berbeda) meliputi atau membingungkan ketika terjadi secara bersamaan. Analisis yang demikian bisa mengarah pada satu dari sejumlah kesimpulan apapun – perubahan yang dikemukakan tanpa harapan membingungkan; perubahan yang dikemukakan terlalu masuk akal (misalnya preskriptif); perubahan memiliki banyak kemungkinan tetapi perlu perkembangan lebih lanjut dan atau sumber-sumber selama implementasinya, dan jika tidak tersedia maka tugas selanjutnya akan tidak mudah.
Keempat, dan berhubungan dengan poin ketiga, analisa aspek objektif dan subjektif bisa sangat berguna untuk perencanaan efektif dan lebih spesifik terhadap perubahan yang kita inginkan. Entah perubahan itu dipilih sendiri atau eksternal, jika kita mengetahui dimana keberadaan kita saat ini dalam hubungannya dengan suatu program perubahan atau kebijakan tertentu, kita dapat mengembangkan rencana yang ditujukan pada dimensi yang berbeda dalam upaya membahas tentang perubahan spesifik dalam praktik.
Kelima, status quo penuh dengan kekukuhan yang menyisakan sedikit ruang untuk perubahan. Kita harus memahami eksistensi realitas dari peserta yang besar dalam hubungannya dengan kemudahan perubahan apapun. Pada Bagian II dan III kita akan melihat bahwa memahami realita yang berbeda dari kelompok utama menjadi jalan panjang untuk menjelaskan gambaran keseluruhannya; yaitu, jumlah keseluruhan tujuan subjektif yang menyediakan suatu gambaran yang lebih komprehensif dari perubahan kependudukan secara keseluruhan.
Keenam, perubahan yang terjadi bisa sangat mendalam, bertentangan dengan inti keyakinan dan kemampuan yang dipelajari dan konsepsi pendidikan, menciptakan keraguan tentang tujuan, pengertian kompetensi, dan konsep diri. Jika permasalahan ini diabaikan atau terlalu jelas, perubahan yang dangkal akan terjadi dengan sangat baik; paling buruk, orang akan mundur untuk melindungi diri, tanpa mempertimbangkan menolak semua perubahan yang diajukan. Bahkan perubahan yang tampaknya tidak kompleks bagi promotor perubahan dapat menimbulkan banyak keraguan dan ketidakpastian pada mereka yang tidak familiar dengan bagian ini.
Tetapi pertanyaannya sekarang: bagaimana kita mengetahui bila perubahan tertentu itu berharga, dan siapa yang memutuskan? Sarason dan Doris (1979, h.361) memberikan beberapa indikasi kesulitan dan tentu saja ketidakmungkinan yang akan muncul dengan jawaban yang pasti:
Praktik dan kebiasaan institusional merupakan pertahanan yang efektif untuk kekuatan perubahan dan memiliki fitur-fitur yang baik maupun buruk, dengan mudah kita lupa. Di satu pihak, kita tidak ingin institusi kita berubah sebagai jawaban setiap idea tau mode yang baru dan di sisi lain, kita tidak ingin mereka secara membabi buta mempertahankan status quo. Sehubungan dengan tendensi, maka seseorang akan cenderung untuk menentang sebagaimana hal yang lain dengan sikap kuno. Jika seseorang bertentangan dalam hal tendensinya, maka akan cenderung untuk memandangnya sebagai upaya salah yang lain yang lebih lanjut memperkecil kualitas pendidikan setiap orang.
Jawaban singkatnya adalah bahwa suatu perubahan itu baik tergantung pada penilaian seseorang, entah diimplementasikan atau tidak, dan dengan konsekuensi apa. Sebagian orang secara membabi buta mendukung perubahan tertentu yang mereka nilai, melupakan pertanyaan tentang implementasi dan konsekuensinya. Yang lainnya tidak pasti tentang nilai perubahan karena mereka hanya terlalu menyadari kurang jelasnya dan ketidakpastian yang menyerap transisi dari penilaian tujuan, untuk ditiru melalui implementasi, pada hasilnya.
Sejauh ini dalam permasalahan tentang tujuan dalam hubungannya dengan apa yang terkandung dalam inovasi. Fullan menyimpulkan bahwa individu menjadi jelas tentang praktik pendidikan baru yang mereka inginkan (dan/ atau orang lain yang menginginkannya) untuk diimplementasikan.
B.     Interpretasi
Pada bagian ini penulis akan menginterpretasikan beberapa hal penting berkaitan dengan deskripsi di atas. Perubahan pendidikan secara teknis sederhana dan secara sosial kompleks. Pada dasarnya ketika berbicara tentang makna perubahan (meaning of change)  atau makna perubahan pendidikan, berarti pembicaraan yang melibatkan beberapa unsur yang terkait secara kompleks, atau dengan kata lain perubahan dalam organisasi apapun termasuk sekolah tidak akan dapat menghasilkan perubahan “maksimal” apabila hanya berpikir, bertindak dan melakukan kebijakan dalam satu aspek saja. Oleh  karena itu perubahan dalam pendidikan akan melibatkan, atau memperhatikan aspek-aspek utama dan pendukung. Misalnya, tujuan perubahan, siapa yang seharusnya melakukan perubahan, materi apa yang harus diubah, bagaimana kesiapan lingkungan dimana perubahan itu akan terjadi.
Guru dan siswa terlalu dibingungkan oleh sekolompok masalah-masalah lain untuk memberi perhatian lebih banyak terhadap seluruh kehebohan. Apakah yang harus dilakukan oleh sekolah? Apa yang harus dilakukan sekolah merupakan suatu pertanyaan rumit. Bagaimanapun, tujuan pendukung  dapat diidentifikasikan. Setidaknya terdapat dua tujuan utama dari sekolah: untuk mendidik siswa dalam berbagai macam keterempailan dan pengetahuan akademis atau kognitif, dan untuk mendidikan siswa dalam pengembangan keterampilan dan pengetahuan individual dan sosial yang diperlukan untuk melekasanakan fungsi sosialnya di dalam masyarakat. 
Untuk apakah dilakukan perubahan? Secara teori, tujuan dari perubahan pendidikan secara perkiraan untuk membantu sekolah-sekolah mencapai tujuannya secara lebih efektif melalui penempatan sejumlah program atau praktik yang lebih baik. Dalam buku ini diikuti dengan istilah apa, bagaimana perubahan pendidikan memperbaiki sekolah. Perubahan demi perubahan tidak akan membantu. Program baru pun tidak membuat suatu perubahan, membantu memperbaiki situasi, atau membuat keadaan lebih buruk. Hubungan antara perubahan dan kemajuan, menggunakan pencapaian dalam domain kognitif/akademik dan pengembangan sosial sebagai kriteria, dapat lebih memberi kekuatan.  Sifat perubahan pendidikan dan sosial pertama-tama harus dipahami dalam istilah sumber dan tujuan perubahan. Sumber-sumber peruban dapat datang dari tekanan eksternal dan internal (pembahasan pada bab II Sources of Educational Change).
Pada pembahasan ini Fullan menjelaskan Tugas pertama adalah untuk mempertimbangkan masalah general dari makna perubahan individual dalam keluasan masyarakat, bukan sebagai membatasi pendidikan. Kedua, penguraian pada makna subjektif dari perubahan diantara individu-individu dalam bidang pendidikan. Ketiga, pengorganisasian ide-ide lebih komprehensif untuk memunculkan pada suatu deskripsi dari makna objektif dari perubahan, yang secara lebih formal mengupayakan untuk membuat pengertian dari komponen-komponen perubahan pendidikan. Keempat, menguraikan pada implikasi dari realita subjektif dan objektif dari pemahaman perubahan pendidikan. 
C.    Evaluasi
Dari hasil deskripsi dan interpretasi di atas maka dapat dipahami tentang makna perubahan pendidikan. Bab ini membahas empat sub bahasan (I) Permasalahan Umum dari makna perubahan individu di masyarakat. (II) makna subjektif dari perubahan di antara individu di bidang pendidikan. (III) makna objektif dari perubahan pendidikan dan  (IV) implikasi realitas objektif dan subjektif untuk memahami perubahan kependidikan. Pada hakikatnya Fullan menginginkan adanya perubahan makna pendidikan yang menyeluruh atau kompleks yang membutuhkan  keterlibatan banyak pihak atau dengan kata lain perubahan tidak hanya terjadi pada lembaga sekolah saja melainkan perubahan yang diikuti atau berdampak pada perubahan sosial masyarakat. Menurut penulis pada bab ini dijumpai beberapa kutipan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga terkesan “kurang orisinil” karya Fullan. Adalah wajar karena pada bab ini baru pengantar secara umum yang belum menjelaskan secara detail tentang bagaimana idealnya makna perubahan pendidikan itu?.
Pembahasan makna perubahan pendidikan pada bab ini bukanlah entitas tunggal atau berdiri sendiri yang terlepas dari hubungan bab sebelum dan sesudahnya, tetapi merupakan bagian kecil dari banyak penjelasan Fullan dalam bukunya The Meaning of Educational Change. Sehingga pada penjelasan bab  tiga ini akan lebih jelas karakteristik pembahasannya pada bab empat dan seterusnya. Selanjutnya apabila dikontekskan dengan kondisi pendidikan di Indonesia, lebih khusus pada pendidikan anak usia dini (PAUD) analisis yang Fullan kemukakan adalah relevan. Misalnya dalam hal inovasi kurikulum pendidikan atau pendekatan pengajaran para guru belum dilibatkan secara baik dan efektif, sehingga terkesan para guru sebagai bulan-bulanan pihak tertentu (baca: pemerintah), dan diperparah dengan kurangnya sosialisasi terhadap makna atau tujuan perubahan yang diinginkan. Dalam kondisi demikian menurut hemat penulis akan berdampak fatal terhadap upaya mencapai tujuan perubahan atau hanya akan menjadi slogan saja yang sulit terealisasi.
Namun demikian, idealitas dan realitas belum tentu berjalan seirama seperti yang diharapkan. Tetapi sedapat mungkin diupayakan apa yang menjadi tujuan perubahan yaitu melakukan inovasi dilakukan secara komprehensip dan dilakukan secara maksimal dalam level apapun. Akhirnya semua dituntut untuk selalu melakukan evaluasi terhadap semua kebijakan yang ada agar tujuan dari perubahan yang berdampak pada perubahan sosial masyarakat dapat tercapai. Misalnya kebijakan pemerintah kota Bengkulu yang menerapkan pendidikan TK merupakan syarat untuk masuk sekolah dasar (SD). Sehingga bagi yang tidak memiliki “ijazah” TK sulit atau tidak diterima masuk SD yang berkualitas. Tujuan kebijakan tersebut sebenarnya menginginkan  perubahan pendidikan anak kota Bengkulu lebih berkualitas dari sebelumnya dan itu adalah hal yang positif, tetapi kebijakan tersebut hanya bersifat politis dan tujuan tersebut hanya keinginan pemerintah yang belum didukung oleh elemen lain, seperti infrastruktur, SDM, pendekatan pengajaran maupun keyakinan para guru atau pihak sekolah, bahkan jumlah sekolah TK yang relatif langkah dan di samping itu biaya sekolah TK yang relatif lebih mahal.
D.    Rekomendasi
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1.      Perubahan dalam pendidikan hendaknya selalu berinovasi sesuai dengan kapasitasnya dan harus memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, karakteristik dari perubahan, perlu dilihat masalah kebutuhan dan relevansi dari perubahan, kejelasan, kompleksitas, dan kualitas serta kepraktisan dari program. Kedua, karakteristik dari tingkat wilayah sekolah, terdiri atas: sejarah dari upaya-uapaya inovasi, proses adopsi, dukungan dan keterlibatan administratur pusat, pengembangan dan partisipasi staf, sistem ketepatan waktu dan informasi, dan karakteristik dewan dan komunitas. Ketiga, karakteristik pada tingkat sekolah, yang terdiri atas kepala sekolah, hubungan antara guru, dan karakteristik dan orientasi guru. Keempat, karakteristik eksternal terhadap sistem lokal, yang terdiri atas peran pemerintah dan bantuan eksternal. 
2.      Makna perubahan yang kompleks  menjadi perhatian semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan termasuk masyarakat.
3.      Pembahasan lebih komprehensip akan didapatkan penjelasannya pada bab atau bagian selanjutnya dari buku The Meaning of Educational Change karya Michael Fullan.