Selasa, 07 Februari 2012

Konsep Edutainment dan Cooperative learning terhadap PAUD


KONSEP EDUTAINMENT DAN COOPERATIVE LEARNING
(Analisis Relasinya terhadap Pendidikan Anak Usia Dini)


Fatrica Syafri
Jurusan Tarbiyah STAIN Bengkulu
Alamat : Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu


Abstrak
Pembahasan tentang kedua teori ini merupaakn sesuatu hal yang unik. Keunikannya antara lain selain teori ini dipandang sebagai hal baru, juga karena perkembangan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya pendidikan anaka usia dini (PAUD). Kedua teori ini menjadi alat analisis terhadap relasinya terhadap pendidikan anak. Teori edutainment dan cooperative learning memberikan pesan kepada pemerhati dan pelaksana pendidikan tentang pentingnya proses pendidikan bersama atau berkelompok dan proses pendidikan yang menyenangkan. Proses Pendidikan berkelompok, belajara sambil bermaian dapat menyenangkan    peserta didik teruatama pada usia dini. Selanjutnya, dapat melahirkan generasi yang memeliki multi kecerdasan.

Kata Kunci : edutainment, cooperative learning, dan PAUD.

A.     Pendahuluan
Manusia  adalah  makhluk  individual,  berbeda  satu  sama  lain,  karena sifatnya  yang  individual, maka manusia  yang  satu membutuhkan manusia  yang lainnya.  Sehingga  sebagai  konsekuensi  logisnya manusia  harus menjadi makhluk sosial,  makhluk  beriteraksi  dengan  sesamanya,  selain  itu  manusia  memiliki potensi, latar belakang historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Dari adanya  perbedaan,  manusia  dapat  saling  mencerdaskan, saling membutuhkan maka harus ada  interaksi yang  saling menyayangi atau saling mencintai.
Perbedaan  antarmanusia  yang  tidak  terkelola  secara  baik  dapat menimbulkan  ketersinggungan  dan  kesalahpahaman  antarsesamanya.  Agar manusia  terhindar  dari  ketersinggungan  dan  kesalahpahaman  maka  diperlukan interaksi  yang  saling  tenggang  rasa.   Dalam  dunia  pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan formal banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai  dari  perbedaan  gender,  suku,  agama,  dan  lain-lain.
Dari  karakter  yang heterogen  tersebut,  timbul  suatu  pertanyaan  bagaimana  guru  dapat  memotivasi seluruh siswa mereka untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama  lain? Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan  berdiskusi,  berdebat,  dan  menggeluti  ide-ide,  konsep-konsep,  dan keterampilan  sehingga  siswa  benar-benar  memahami  ide,  konsep  dan keterampilan tersebut? Bagaimana guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang  usia  siswa  yang  begitu  besar  di  dalam  kelas  untuk  kegiatan-kegiatan pembelajaran  produktif?  Bagaimana  guru  dapat  mengorganisasikan  kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu  sama  lain,  dan  belajar  untuk menghargai  satu  sama  lain  terlepas dari  suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat?
Jawabannya adalah melalui  pembelajaran  kooperatif. Ada banyak alasan yang membuat pembelajaran cooperative memasuki jalur utama praktek pendidikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robert E. Slavin yang mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan pencapaian prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat mengembangkan hubungan antarkelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri.[1]
Demikian Muhammad Nur mengatakan bahwa model  pembelajaran  kooperatif  dapat memotivasi seluruh  siswa, memanfaatkan  seluruh  energi  sosial  siswa,  saling  mengambil tanggungjawab. Model  pembelajaran  kooperatif  membantu  siswa  belajar  setiap mata  pelajaran, mulai  dari  keterampilan  dasar  sampai  pemecahan masalah  yang kompleks.[2]  Pendapat  ini  sejalan  dengan  Abdurrahman  dan  Bintoro  mengatakan  bahwa  pembelajaran  kooperatif  adalah  pembelajaran  yang  secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata.[3] Untuk menciptakan suasana belajar kooperatif bukan suatu pekerjaan yang mudah.  Untuk  menciptakan  suasana  belajar  tersebut  diperlukan  pemahaman filosofis dan keilmuan yang cukup disertai dedikasi yang tinggi serta latihan yang cukup pula.
Berangkat dari permasalahan di atas pada tulisan ini penulis ingin menguraikan tentang bagaimana konsep Cooperative Learning dalam proses pendidikan, selanjutnya akan dianalisis hubungannya dengan pendidikan anak usia dini (pada makalah ke dua).
B.     Teori Cooperative Learning
1.      Pengertian Cooperative Learning
Posamentier  secara  sederhana  menyebutkan  cooperative learning  atau belajar secara kooperatif adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan mereka sebuah atau beberapa tugas.[4] Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama  antar  siswa  untuk  mencapai  tujuan  pembelajaran. Menggunakan pembelajaran  kooperatif  merubah  peran  guru  dari  peran  yang  berpusat  pada gurunya  ke  pengelolaan  siswa  dalam  kelompok-kelompok  kecil. Menurut  teori konstruktivis,  tugas  guru  (pendidik)  adalah  memfasilitasi  agar  proses pembentukan  (konstruksi)  pengetahuan  pada  diri  sendiri  tiap-tiap  siswa  terjadi secara optimal.
     Cooperative  learning  merupakan  strategi  pembelajaran  yang menitikberatkan  pada  pengelompokan  siswa  dengan  tingkat  kemampuan akademik  yang  berbeda  kedalam  kelompok-kelompok  kecil.[5] Kepada siswa diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada  teman  sekelompoknya,  menghargai  pendapat  teman,  berdiskusi dengan  teratur,  siswa  yang  pandai  membantu  yang  lebih  lemah,  dan sebagainya.
     Menurut Slavin  menyatakan  bahwa pendekatan  konstruktivis  dalam  pengajaran  secara  khusus   membuat  belajar kooperatif  ekstensif,  secara  teori  siswa  akan  lebih  mudah  menemukan  dan memahami  konsep-konsep  yang  sulit  apabila  mereka  dapat  saling mendiskusikannya dengan temannya.[6] Pembelajaran  kooperatif  merupakan  pembelajaran  yang  mengutamakan kerjasama  antar  siswa  untuk  mencapai  tujuan  pembelajaran.  Menggunakan pembelajaran  kooperatif  merubah  peran  guru  dari  peran  yang  berpusat  pada gurunya  ke  pengelolaan  siswa  dalam  kelompok-kelompok  kecil.
     Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok. Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu:
a.  Saling ketergantungan positif.
b.  Tanggung jawab perseorangan.
c.  Tatap muka.
d.  Komunikasi antar anggota.
e.  Evaluasi proses kelompok
Khas Cooperative Learning yaitu siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kooperatif dan tinggal bersama dalam satu kelompok untuk beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebelumnya siswa tersebut diberi penjelasan atau diberi pelatihan tentang bagaimana dapat bekerja sama yang baik dalam hal:
- Bagaimana menjadi pendengar yang baik
- Bagaimana memberi penjelasan yang baik
- Bagaimana cara mengajukan pertanyaan dengan benar dan lain-lainnya.
Aktivitas Cooperative Learning dapat memainkan banyak peran dalam pelajaran. Dalam pelajaran tertentu Cooperative Learning dapat digunakan 3 (tiga) tujuan berbeda yaitu: Dalam pelajaran tertentu siswa sebagai kelompok yang berupaya untuk menemukan sesuatu,  kemudian setelah jam pelajaran habis siswa dapat bekerja   sebagai   kelompok-kelompok   diskusi   dan   setelah   itu   siswa   akan mendapat kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah  menguasai   segala   sesuatu   yang   telah   dipelajarinya   untuk persiapan kuis, bekerja dalam suatu format belajar kelompok.
2.      Karakteristik Cooperative Learning
            Karakteristik pembelajaran kooperatif di antaranya:
a.      Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.
b.     Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
c.      Jika memungkinkan, masing-masing anggota  kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.
d.     Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:
a.       Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
b.       Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan  tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.
c.       Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan.
d.      Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.
3.      Metode-metode Pembelajaran Cooperative
Lima prinsip dalam metode Student Team Learning (Pembelajaran tim siswa[PTS]) telah dikembangkan dan diteliti secara ekstensif. Tiga diantaranya adalah metode pembelajaran kooperatif yang dapat diadaptasikan pada sebagian besar mata pelajaran dan tingkat kelas. Student team-Achievement Division (STAD) (pembagian pencapaian tim siswa), Team-Games-Tournament (TGT) (Turnamen game tim), dan Jigsaw II (teka-teki II). Dua yang lain adalah kurikulum komprehensif yang dirancang untuk digunakan  dalam mata pelajaran khusus pada tingkat kelas tertentu : yaitu Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (mengarang dan membaca terintegrasi yang kooperatif) digunakan untuk pelajaran membaca pada kelas 2-8 dan Team Accelerated Instruction (TAI) (percepatan pengajaran tim) untuk mata pelajaran matematika pada kelas 3-6. Kelima metode ini melibatkan penghargaan tim, tanggung jawab individual, dan melibatkan kesempatan sukses yang sama, tetapi dengan cara yang berbeda.
a.     Pembelajaran Kooperatif dengan Tipe STAD
Pembelajaran  kooperatif  tipe  STAD  (Student  Teams  Achievement Divisions)  merupakan  salah  satu  tipe  pembelajaran  kooperatif  yang  paling sederhana, sehingga cocok bagi guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif. Menurut  Slavin  dalam  pembelajaran  kooperatif  tipe  STAD  siswa ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan empat atau  lima orang yang merupakan  campuran  menurut  tingkat  kinerja,  jenis  kelamin  dan  suku.  Guru menyajikan  pelajaran  kemudian  siswa  bekerja  didalam  kelompok mereka  untuk memastikan  bahwa  seluruh  anggota  kelompok  telah menguasai materi  pelajaran tersebut. Pada  akhirnya  siswa diberikan  tes yang mana pada  saat  tes  ini mereka tidak dapat saling membantu. Poin setiap anggota tim ini selanjutnya dijumlahkan untuk mendapat  skor  kelompok.  Tim  yang mencapai  kriteria  tertentu  diberikan sertifikat atau ganjaran lain.[7]
Menurut  Slavin  STAD   terdiri  dari  lima  komponen  utama  yaitu:  (1) presentasi Kelas,  (2) Kelompok,  (3) Kuis  (tes),  (4) Skor peningkatan  individual, (5) Penghargaan kelompok.[8] Ide utama di balik STAD adalah untuk memotivasi siswa saling memberi semangat   dan  membantu  dalam  menuntaskan  keterampilan-keterampilan  yang dipresentasikan  guru.  Apabila  siswa  menginginkan  tim  mereka  mendapatkan penghargaan  tim,  mereka  harus  membantu  teman  satu  tim  dalam  mempelajari bahan  ajar  tersebut. Mereka  harus memberi  semangat  teman  satu  timnya  yang melakukan  yang  terbaik,  menyatakan  norma  bahwa  belajar  itu  penting, bermamfaat,  dan  menyenangkan.
Meskipun  siswa  belajar  bersama,  mereka  tidak  boleh  saling  membantu dalam mengerjakan kuis. Setiap siswa harus menguasai materi tersebut. Tanggung jawab  individual  ini  memotivasi  siswa  melakukan  sebuah  pekerjaan  tutorial dengan baik dan saling menjelaskan satu sama  lain, mengingat satu-satunya cara tim  tersebut berhasil  jika  seluruh  anggota  tim  telah menuntaskan  informasi  atau keterampilan  yang  sedang  dipelajarinya. 
b.     Teams-Games-Tournaments (TGT)
             TGT adalah  teknik  pembelajaran  yang  sama  seperti  STAD  dalam  setiap hal  kecuali  satu,  sebagai  ganti  kuis  dan  sistem  skor  perbaikan  individu,  TGT menggunakan  turnamen  permainan  akademik.  Dalam  turnamen  itu  siswa bertanding mewakili  timnya  dengan  anggota  tim  lain  yang  setara  dalam  kinerja akademik mereka yang lalu.  Pada  intinya  model  kooperatif  TGT  terdiri  dari  empat  kegiatan  yakni Persentase  Kelas,  Tim,  Permainan,  dan  Turnamen. 
c.      Metode Jigsaw
       Metode  ini dikembangkan oleh Elliot Aronson dan kawan-kawannya dari Universitas  Texas  dan  kemudian  diadaptasi  oleh  Slavin  dan  kawan-kawannya. Melalui metode Jigsaw kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri dari  5  atau  6  siswa  dengan  karakteristik  yang  heterogen.  Bahan  akademik disajikan  kepada  siswa  dalam  bentuk  teks dan  tiap  siswa  bertanggung  jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik  tersebut. Para anggota dari berbagai  tim  yang  berbeda  memiliki  tanggung  jawab  untuk  mempelajari  suatu bagian  akademik yang  sama dan  selanjutnya berkumpul untuk  saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam itu disebut  kelompok pakar  (expert  group).  Selanjutnya,  para  siswa  yang  berada  dalam  ‘kelompok pakar’  kembali  ke  kelompok  semula  (home  teams)  untuk mengajar  anggota  lain mengenai materi  yang  telah  dipelajari  dalam  kelompok  pakar.  Setelah  diadakan pertemuan  dan  diskusi  dalam  home  teams,  para  siswa  dievaluasi  secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari.

d.      Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization atau Team Accelerated Instruction).
       Dasar pemikiran pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah untuk mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individu berkaitan dengan kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa. Biasanya tipe TAI digunakan pada mata pelajaran matematika.
e.       Pembelajaran Kooperatif  Tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition).
Metode-metode pembelajaran kooperatif telah diteliti dan digunakan dalam berbagai mata pelajaran, dua  dari mata pelajaran dalam kurikulum sekolah dasar – membaca dan menulis- jelas tidak tersentuh oleh penelitian ini. Bagian ini menggambarkan dasar pemikiran, pengembangan, dan evaluasi dari CIRC, sebuah program yang komprehensip untuk mengajari pelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa para kelas yang lebih tinggi  di sekolah dasar.
4.      Model Kooperatif Informal
Diantara bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif yang paling  tua dan  luas digunakan  adalah  diskusi  kelompok  dan  proyek  kelompok,  kelompok-kelompok diskusi  adalah  memastikan  setiap  anggota  berperan  serta  dalam  kegiatan kelompok  tidak didominasi oleh  seorang anggota  saja,  setiap kelompok memilih seorang  pemimpin  yang mampu mengorganisasikan  kelompok mereka,  Proyek-proyek kelompok yang baik  adalah  sama dengan prinsip dari diskusi yang baik, setiap kelompok menulis laporan yang diinginkan oleh guru.
Spencer  Kagan  (1992)  telah  mendeskripsikan  banyak  struktur  informal untuk  pengembangan  pembelajaran  kooperatif  yang  dapat  diterapkan  dalam pelajaran sehari-hari, sebagai bagian dari struktur tersebut adalah sebagai berikut: 
a.        Diskusi kelompok spontan.
b.       Number  Head  Together  (NHT),  pada  dasarnya  merupakan  sebuah  varian diskusi kelompok,  ciri khasnya  adalah hanya menunjuk  seorang  siswa yang mewakili kelompoknya, tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok itu. Cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa.
c.        Think Pair Share, dikembangkan oleh Frank Lyman (Universitas Maryland) pada  saat  guru  mempresentasekan  sebuah  pelajaran  di  kelas,  siswa  duduk berpasangan di dalam  tim mereka. Siswa diminta untuk  think  (memikirkan) sendiri  jawaban  pertanyaan  itu,  kemudian  pair  (berpasangan)  dengan pasangan  berdiskusi  untuk  mencapai  konsensus  atas  jawaban  tersebut. Akhirnya  guru meminta  siswa  untuk  share  (berbagi)  jawaban  yang mereka sepakati itu kepada semua siswa di kelas.[9]
C.    Teori Edutainment
Ada upaya untuk menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan dalam dunia pendidikan yakni saat munculnya konsep edutainment yang mencoba memadukan antara dua aktivitas ”pendidikan” dan ”hiburan”.
Konsep menurut bahasa yakni pendapat, rancangan, gagasan, pandangan, cita-cita yang telah ada dalam pikiran. Sesuai dengan pengertian konsep di atas maka konsep edutainment yang dimaksudkan disini adalah sejumlah gagasan, pandangan, ide-ide, pemikiran tentang edutainment yang terdapat dalam teori-teori belajar quantum.[10]
Kata edutainment terdiri atas dua kata, yaitu education dan entertainment. Education artinya pendidikan dan entertainment artinya hiburan. Edutainment dari segi bahasa memiliki arti yaitu pendidikan yang menyenangkan. Sedangkan dari segi terminologi, edutainment as a form of entertainment that is designed to be educational.[11] Jadi, edutainment bisa didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang didesain dengan memadukan antara muatan pendidikan dan hiburan secara harmonis sehingga aktivitas pembelajaran yang berlangsung menyenangkan.[12]
1.       Munculnya Konsep Edutainment
Konsep belajar berwawasan edutainment mulai diperkenalkan secara formal pada tahun 1980-an dan telah menjadi satu metode pembelajaran yang sukses dan membawa pengaruh yang luar biasa pada bidang pendidikan dan pelatihan di era milenium ini.[13] Belajar yang menyenangkan, menurut konsep edutainment bisa dilakukan dengan menyelipkan humor dan permainan (game) ke dalam proses pembelajaran tetapi bisa juga dengan cara yang lain, misalnya dengan menggunakan metode bermain peran (roleplay), demonstrasi dan multimedia. Tujuannya adalah agar pembelajar (murid) bisa mengikuti dan mengalami proses pembelajaran dalam suasana yang gembira, menyenangkan, menghibur dan mencedaskan.
Ada tiga kualitas belajar yang harus dikembangkan dalam diri murid guna mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan, yakni:
a.       belajar untuk menjadi (Learning to Be) akan menghasilkan pribadi yang mandiri.
b.      belajar untuk belajar (Learning to Learn) dengan terus-menerus secara aktif.[14]
Dalam konsep edutainment setiap proses pembelajaran harus menyenangkan. Oleh sebab itulah, konsep edutainment menjadi salah satu terobosan dalam proses pembelajaran yang selama ini hanya dipahami sebagai proses belajar-mengajar di dalam kelas padahal proses belajar di luar kelas dapat memacu kreativitas anak didik.[15]
Pada musim gugur 1981, Eric Jensen, Greg Simons dan Bobbi De Porter berinisiatif untuk menciptakan program 10 hari yang menerapkan prinsip-prinsip belajar quantum, yakni dengan mengkombinasikan rasa percaya diri, keterampilan belajar dan kemampuan berkomunikasi dalam suatu lingkungan yang menyenangkan. Pada musim panas 1982, kelompok pertama yang terdiri 68 remaja tiba di perkemahan, yang mereka sebut dengan super camp. Pada awalnya, sebagian besar murid-murid itu merasa enggan, curiga dan tidak mau bekerja sama. Muncul kekhawatiran atas keberhasilan program ini tetapi setelah beberapa saat berjalan mulai terlihat trobosan mengagumkan yang menunjukkan bahwa program tersebut menuju kearah yang tepat. Akhirnya, program ini berhasil bahkan melebihi dari yang diharapkan dan menjadi peristiwa penting dalam kehidupan para remaja yang mengikutinya.[16]
2.     Karakteristik Edutaunment
Beberapa prinsip yang menjadi karakteristik dari konsep edutainment, yakni:
1.      konsep edutainment adalah suatu rangkaian pendekatan dalam pembelajaran untuk menjembatani jurang yang memisahkan antara proses mengajar dan proses belajar sehingga diharapkan bisa meningkatkan hasil belajar. Konsep ini dirancang agar proses belajar mengajar dilakukan secara holistik dengan menggunakan pengetahuan yang berasal dari berbagai disiplin ilmu seperti pengetahuan tentang cara kerja otak dan memori, motivasi, konsep diri, emosi (perasaan), gaya belajar, kecerdasan majemuk, teknik memori, teknik membaca, teknik mencatat dan teknik belajar lainnya.[17]
2.      Konsep dasar edutainment berupaya agar pembelajaran yang terjadi berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan. Ada tiga asumsi yang menjadi landasannya, yakni:
a.     Perasaan gembira
Suasana gembira akan mempengaruhi cara otak dalam memproses, menyimpan dan mengambil informasi dengan mudah.[18] Dalam upaya menciptakan kondisi ini maka konsep edutainment mencoba memadukan pendidikan dan hiburan.
Seorang ibu mengeluh bahwa anaknya yang baru taman kanak-kanak sudah dapat mengungkapkan bahwa dirinya stres. Jika dipikir-pikir, anak-anak mendapatkan banyak tekanan, baik dari guru-guru di sekolah maupun orangtua dengan harapan-harapan yang terkadang kurang realistis demi terpenuhinya cita-cita orangtua yang dulu tidak berhasil dicapai.
Anak tidak bisa belajar efektif dalam keadaan stres. Belajar perlu dinikmati dan timbul dari perasaan suka serta nyaman tanpa paksaan. Untuk menciptakan lingkungan tanpa stres bagi anak, penting bagi orangtua agar rileks dan tidak menetapkan target atau menuntut anak melebihi kemampuannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tuntutan dari orangtua dengan budaya yang berbeda. Orangtua dari budaya Jepang dan Cina menetapkan standar yang lebih tinggi terhadap prestasi anak, mengevaluasi dengan ketat hasil yang diperoleh, dan mendorong anak untuk bekerja lebih keras. Sedangkan orangtua Amerika lebih menekankan kemampuan dasar (IQ) anak daripada kerja keras dalam mencapai prestasi akademik.[19] Sebenarnya perlu bagi orangtua untuk merefleksi diri dan menjawab dengan jujur pertanyaan; “Apakah yang saya lakukan ini adalah untuk kepentingan anak saya atau untuk kepentingan diri saya sendiri?”
b.     Mengembangkan emosi positif anak
Ketika suatu pelajaran melibatkan emosi positif yang kuat, umumnya pelajaran tersebut akan terekam dengan kuat pula dalam ingatan. Oleh karena itu, dibutuhkan kreatifitas guru dan orangtua untuk menciptakan permainan-permainan yang dapat menjadi wadah dan sarana anak untuk belajar, misalnya melalui drama, warna, humor, dan lain-lain.
Emosi positif dapat meningkatkan kekuatan otak, keberhasilan dan kekuatan diri.












Kekuatan otak
 









Kehormatan diri
 



Keberhasilan
 



 





 Kegembiraan merupakan ekspresi emosi yang riang, bahagia, dan menyenangkan. Anak yang mengalami kegembiraan diwujudkan dengan ekspresi senyum dan tidak menangis.
c.       Optimalisasi potensi nalar anak secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi belajar secara berlipat ganda
Bagian neokorteks dari otak terbagi dalam beberapa fungsi khusus seperti fungsi berbicara, mendengar, melihat dan meraba. Jika ingin memiliki memori yang kuat maka informasi harus disimpan dengan menggunakan semua indera - melihat, mendengar, berbicara, menyentuh, dan membaui. Anak-anak umumnya belajar melalui pengalaman konkret yang aktif. Untuk memahami konsep ‘bulat’ yang abstrak, seorang anak perlu bersentuhan langsung dengan benda-benda bulat, apakah itu dengan cara melihat dan meraba benda bulat atau dengan cara menggelindingkan bola.
Menurut Vernon A. Magnesen dalam Quantum Teaching, belajar 10% dari apa yang kita baca; 20% dari apa yang didengar; 30% dari apa yang dilihat; 50% dari apa yang dilihat dan dengar; 70% dari apa yang dikatakan; dan 90% dari apa yang dikatakan dan lakukan.[20]
d.      Anak didik yang dimotivasi dengan tepat dan diajar dengan cara yang benar (cara yang yang menghargai gaya atau style dan keinginan mereka) maka mereka semua dapat mencapai suatu hasil belajar yang optimal. Pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah anak didik akan diperkenalkan dengan cara dan proses belajar yang benar sesuai dengan kepribadian dan keunikan mereka masing-masing.
Menurut Nasution mengajar dikatakan berhasil jika anak-anak belajar sebagai akibat usaha itu.[21] Oleh karena itu dalam proses pembelajaran yang meliputi proses pengajaran dan pengelolaan kelas tujuan utamanya adalah bagaimana mengupayakan agar anak didik dapat belajar. Agar murid mau belajar perlu diciptakan situasi belajar yang kondusif.
3.      Konsep edutainment menempatkan anak sebagai pusat dari proses pembelajaran dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Tidak seperti yang terjadi selama ini, anak didik ditempatkan dalam suatu posisi yang tidak pas yaitu sebagai obyek pendidikan. Proses pembelajaran terbaik yang dapat diberikan kepada anak didik menurut konsep ini adalah suatu proses pembelajaran yang diawali dengan menggali dan mengerti kebutuhan anak didik. Berangkat dari sini, seorang pendidik harus bisa membawa anak didik melalui suatu metode pembelajaran yang benar agar anak bisa berkembang sesuai dengan potensi mereka seutuhnya.
4.      Konsep edutainment, proses dan aktivitas pembelajaran tidak lagi tampil dalam wajah yang menakutkan tetapi dalam wujud yang humanis dan dalam interaksi edukatif yang terbuka dan menyenangkan. Interaksi edukatif seperti ini akan membuahkan aktivitas belajar yang efektif dan menjadi kunci utama suksesnya sebuah pembelajaran. Asumsinya jika manusia mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu maka ia akan membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Bila seseorang mampu mengenali tipe belajarnya dan melakukan pembelajaran yang sesuai maka belajar akan terasa sangat menyenangkan dan akan memberikan hasil yang optimal.
Dengan demikian, seorang pendidik sebelum memberikan model pembelajaran kepada anak hendaknya lebih memahami bagaimana cara agar belajar itu bisa nyaman dan menyenangkan adalah sebagai berikut:
1.       menciptakan lingkungan belajar tanpa stress (rileks), lingkungan yang nyaman dan aman, harapan untuk sukses tinggi menjulang.
2.       menjamin bahwa sejak pelajaran adalah relevan karena harus dipahami bahwa belajar akan berjalan dengan efektif jika yang bersangkutan paham dan pentingnya pelajaran tersebut.
3.       melibatkan secara sadar semua indera dan juga pikiran baik yang terdapat dalam otak kanan dan kiri.
4.       menantang otak untuk dapat berpikir jauh ke depan dan mengeksplorasi apa yang sedang dipelajari sebanyak mungkin.
5.       menggabungkan semua bahan yang dipelajari dengan tetap tenang dan nyaman.[22]
6.       materi pelajaran yang relevan dan bermakna
7.       pembelajaran hendaknya bersifat sosial (membuat jalinan kerjasama diantara murid)
8.       hakikat belajar adalah memahami dan menciptakan sendiri makna dan nilai yang dipelajari, menjadikan aktivitas fisik sebagai bagian dari proses belajar
9.       belajar hendaknya melibatkan mental dan tindakan sekaligus
10.   isi dan rancangan pembelajaran hendaknya bisa mengakomodir ragam kecerdasan yang dimiliki pembelajar.
Apabila dikontekskan dengan pendidikan anak usia dini maka pendidik anak usia dini harus dapat merangsang dan membangun munculnya seluruh potensi kecerdasan anak dan bukan mematikan potensi tersebut. Oleh karena itu pendidik anak usia dini perlu memahami karakteristik anak usia dini antara lain sebagai berikut:
1.       anak bukan miniatur orang dewasa
2.       anak masih tahap berkembang
3.       setiap anak unik
4.       dunia anak adalah dunia bermain
5.       anak belum tahu benar salah
6.       setiap larya anak berharga
7.       setiap anak butuh rasa aman
8.       setiap anak peneliti dan penemu[23]
D.     Edutainment dan Cooperatif Learning: Sebuah Analisis Relasinya terhadap PAUD
Pendidikan anak usia adalah pendidikan yang penting dan perlu mendapat perhatian maksimal bagi semua pendidik, baik orang tua maupun para guru. Karena masa dini perkembangan pesat berbagai potensi kecerdasan yang telah dianugrehkan Tuhan kepada setia manusia. Potensi tersebut telah ada sejak manusia dalam kandungan, persoalannya bagaimana  mengelolahnya setelah ia lahir, termasuk usia emasnya yaitu masa usia dini.
Perhatian khusus ini dapat dilakukan oleh para guru dan orang tua dengan cara pendidikan atau pembelajaran yang menyenangkan salah satu bentuknya adalah belajar bekerja sama (kooperatif learning). Telah diuraikan di atas bahwa banyak manfaat belajar bekerja sama, selain melatih dan mengembangkan kecerdasan social hal ini dapat melatih kecerdasan lainnya, yaitu intelektual dan kecerdasan emosional.
Ungkapan belajar sambil bermain, bermain seraya belajar merupakan slogan yang relevan untuk pendidikan anak usia dini, dan hal ini sejalan dengan konsep edutainment dan cooperatif learning. Karena dalam pendidikan yang menyengkan termasuk di dalamnya belajar bekerja sama, memberikan hal yang terbaik kepada anak didik bukan berdasarkan pemaksaan. Dengan kata lain, anak-anak usia membutuhkan perhatian khusus yang tidak hanya mengandalkan pendidikan yang diberikan para “pengasuhnya”. Persoalannya adalah dalam prakteknya masih banyak dijumpai dibeberapa lembaga PAUD yang menerapkan pola lama, yang beranggapan bahwa anak usia dini adalah orang dewasa kecil, yang harus sama dengan perkembangan orang dewasa.
Misalnya disuruh mengahafal ayat tertentu,apabila tidak hafal diberi sanksi, dan seterusnya. Bahkan dalam prakteknya termasuk para orang tua, tidak segan-segan mendidik sebagaimana ia mendidik orang dewasa, sehingga anak-anak tertekan dan bahkan steres, yang boleh jadi berdampak pada kenakalan yang tidak terkontrol.
Hal ini secara terus-menerus dilakukan sehingga membentuk karatek anak, dan yang mengejutkan adalah hal ini akan berdampak pada perkembangan perilaku anak pada masa berikutnya. Kejadian ini banyak terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua atau guru terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu dibutuhkan peran semua pihak untuk memberikan pendidikan terbaik bagi putra dan putri sebagai calon penerus generasi mendatang.
E.     Kesimpulan
Sekolah   yang   pada   dasarnya   untuk  mendapatkan   informasi   ilmu pengetahuan dengan cara yang mudah dan menyenangkan, kadangkala menjadi sesuatu yang kadang menakutkan, kebingungan bahkan kecemasan bagi peserta didik   bila   peserta   didik   itu   sendiri   mendapatkan   permasalahan dalam belajarnya karena situasi dalam belajar merupakan salah satu arena persaingan.
Peserta  didik misalnya   yang  mempunyai   kemampuan  rendah dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, hal ini tidak dapat memberi motivasi kepada peserta didik itu sendiri untuk belajar dan mampu sejajar dengan teman-teman sekelasnya.   Sekalipun   kebiasaan   sekolah  mulai   dari   awal  masa   pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana kompetisi dan harus berjuang keras memenangkan   kompetisi   untuk   bisa   naik   kelas   atau   lulus.  Sebenarnya, kompetisi   bukanlah   satu-satunya  model   pembelajaran   yang   bisa   dan   harus dipakai.  Ada tiga pilihan model, yaitu kompetisi, individual, dan cooperative learning.
Banyaknya model pembelajaran dan tidak sedikit pula para tenaga pengajar tidak tahu tentang model-model   tersebut  dengan benar.   Artinya  tenaga pengajar   hanya  mengetahui   prinsip-prinsip   yang   dangkal   sehingga   dalam penerapannya  dalam kelas   tidaklah optimal,   akibatnya   sering berpendapat bahwa model-model   tersebut   tidak sesuai  dengan kondisi  yang dihadapinya.
 Cooperative Learning salah satunya,   tidak sedikit   tenaga pengajar yang kenal dan tahu dengan  istilah Cooperative   Learning   akan   tetapi   tidak   kalah   banyak   juga   tenaga pengajar   yang   menyamakan   Cooperative   Learning   dengan   diskusi   biasa, akibatnya penerapan Cooperative  Learning  tidak  sesuai  dengan  teori  yang sebenarnya,   sehingga  hasil  yang dicapai   juga   tidak  sesuai  dengan  apa  yang diharapkan.
             Asumsi penulis, masih banyak perlunya penyegaran, pendidikan latihan (bukan sekedar seminar yang tidak ada kesempatan berlatih bagi pengajar) yang harus sering diberikan pada guru-guru untuk  lebih banyak mengenal  model-model   pembelajaran   dan   bagaimana  melakukannya   di dalam kelas secara periodik, sehingga kerja guru tidak bekerja/mengajar dengan asal-asalan,  asal mengajar,   asal   memberi   materi,   asal   masuk   memberi   materi,   yang   tidak mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan dalam belajar peserta didik.






DAFTAR PUSTAKA

Deporter, Deporter dan Mike Hemacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999.

Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penjamin Mutu : Jawa Timur, 2005.

Krismanto, Beberapa  Teknik,  Model  dan  Strategi  Dalam  Pembelajaran Matematika, PPPG Matematika :Yogyakarta, 2003.

Muhammad  Nur, Pembelajaran  Kooperatif,   Departemen  Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penjamin Mutu : Jawa Timur, 2005.

Robert E. slavin, Cooperative Learning, Penerbit Nusa Media : Bandung, 2008.

Sigit Saptono, Strategi Belajar Mengajar Biologi UNNES : Semarang, 2003.

Posamentier.  Alfred  S.  dan  Stepelman.  Jay. Teaching  Secondary Methematics:  Tecahing  and  Enrichement  Units New  Jersey:  Prantice Hall, 1999.

Hamruni. 2009. Edutainment dalam Pendidikan Islam dan Teori-teori Pembelajaran Quantum. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Bobby De Porter dan Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, terj. Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Kaifa.

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for the 21th Century: Cara Belajar Cepat Abad 21, terj. Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.

Fullan. 1991. The New Meaning of Education Change. New York: Teacher College Press.

Makalah pembinaan kurikulum oleh Ibu Hj. Sulastri Yusro, tanggal 4 Agustus 2007.

Mel Silberman. 2002. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject, Trj Sarjuli dkk..Yogyakarta:Yappendis, cetakan kedua.


Pikunas, J. 1976. Human Development. Third Edition. Tokyo: Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd.

Pusat Kurikulum Direktorat PAUD, Direktorat Pembinaan TK dan SD Universitas Negeri Jakarta Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kerangka Dasar Kurikulum PAUD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Siti Murtiningsih. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan; Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

Team Kreatif Kelompok Bermain Cendekia. 2004. PAUD, Pendekatan BBCT & Multiple Intelligence. Yogyakarta: Pustaka Pendidikan.

Tohirin MS. 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


www.beeparenting.wordpress.com. Artikel Belajar yang Menyenangkan pada tanggal 23 Februari diakses tanggal 1 Desember 2009.
www.kompas.com. Arief Rahman. Guru besar UNJ dalam seminar "Edutainment sebagai Sarana Pendukung Pendidikan Berbasis Kompetensi" pada tanggal 27 Mei 2009. diambil dari



[1]  Robert E. slavin, Cooperative Learning (Penerbit Nusa Media : Bandung, 2008), hlm. 4-5.
[2] Muhammad Nur, Pembelajaran  Kooperatif (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penjamin Mutu : Jawa Timur, 2005), hlm. 1.
[3]  Ibid.
[4] Posamentier.  Alfred  S.  dan  Stepelman.  Jay. Teaching  Secondary Methematics:  Tecahing  and  Enrichement  Units (New  Jersey:  Prantice Hall, 1999), hlm. 12.
[5] Sigit Saptono, Strategi Belajar Mengajar Biologi (UNNES : Semarang, 2003), hlm. 32.
[6] Krismanto, Beberapa  Teknik,  Model  dan  Strategi  Dalam  Pembelajaran Matematika (PPPG Matematika :Yogyakarta, 2003), hlm. 14.
[7]  Robert E. slavin, Cooperative Learning, hlm. 143.
[8] Ibid.
[9]  Muhammad  Nur, Pembelajaran  Kooperatif,   Departemen  Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah  (Lembaga Penjamin Mutu : Jawa Timur. 2005).
[10] Hamruni. Edutainment dalam Pendidikan Islam dan Teori-teori Pembelajaran Quantum  (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 50.
[12] Hamruni. Edutainment ...., hlm. 50.
[13] www.learning-revolution.com. Diambil dalam bukunya Hamruni. Edutainment...., hlm. 51.
[14] Tohirin MS, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 77-78.
[15] Arief Rahman, Guru besar UNJ dalam seminar "Edutainment sebagai Sarana Pendukung Pendidikan Berbasis Kompetensi" pada tanggal 27 Mei 2009. diambil dari www.kompas.com
[16] Bobby De Porter dan Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, terj. Alwiyah Abdurrahman (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 4-5.
[17] Hamruni. Edutainment ...., hlm. 42-43.
[18] www.batikyogya.wordpress.com oleh Noor Fitrihana pada tanggal 13 Agustus 2008.
[19] www.beeparenting.wordpress.com. Artikel Belajar yang Menyenangkan pada tanggal 23 Februari diakses tanggal 1 Desember 2009.
[20] Ibid.
[21] www.batikyogya.wordpress.com oleh Noor Fitrihana pada tanggal 13 Agustus 2008.
[22] Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for the 21th Century: Cara Belajar Cepat Abad 21, terj. Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 93.
[23] Makalah pembinaan kurikulum oleh Ibu Hj. Sulastri Yusro, tanggal 4 Agustus 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar